General

Katanya Gen Z jadi Generasi Paling Stres? Benarkah?

Gen Z, generasi yang lahir pada rentang tahun 1997-2012 , telah menjadi subjek perbincangan intens terkait tingkat stres yang mereka hadapi. Gen Z tumbuh dalam era digital yang dinamis, di mana teknologi terus berkembang dengan cepat. Akses instan ke informasi dan interaksi online telah menciptakan lingkungan yang modern, memberikan peluang namun juga menimbulkan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertanyaan mendasar adalah apakah Gen Z benar-benar menghadapi tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya? Berdasarkan beberapa survei, Gen Z memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada generasi-generasi sebelumnya, seperti milenial dan generasi X. Mengutip dari laman tempo.co, sekitar 70% remaja dari berbagai latar belakang, termasuk ras, jenis kelamin, dan tingkat pendapatan keluarga, merasa cemas dan depresi, hal ini berdasarkan hasil riset dari Pew Research Center. Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh  American Psychological Association, hanya 45% dari Gen Z yang bisa dibilang punya kesehatan mental yang baik atau sangat baik. Lalu, apa yang membuat Gen Z menjadi generasi yang paling stres? Berdasarkan data dari Dataindonesia.id, ada beberapa faktor yang menyebabkan Gen Z jadi lebih rentan stres, antara lain: Gen Z tumbuh di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Mereka menyaksikan krisis ekonomi global dan pandemi Covid-19. Hal ini membuat mereka khawatir tentang masa depan mereka, terutama dalam hal pekerjaan dan keuangan. Gen Z tumbuh di era persaingan yang ketat, dituntut untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan keterampilan yang mumpuni agar bisa bersaing di dunia kerja. Hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan, terutama jika mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Media sosial dapat menjadi sumber stres bagi Gen Z. Mereka sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, yang dapat membuat mereka merasa tidak puas dengan diri sendiri. Gen Z sering membandingkan diri dengan teman-teman mereka. Mereka merasa minder jika teman-teman mereka lebih sukses daripada mereka. Hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Gen Z sering merasa kesepian karena mereka menghabiskan banyak waktu di media sosial dan kurang berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata. Kesepian ini dapat meningkatkan risiko stres dan kecemasan. Tapi siapa sangka, dibalik jadi generasi yang paling stres, ternyata Gen Z justru lebih peduli dengan kesehatan mental. Mengutip dari laman tempo.co,  Sekitar 37% dari Gen Z pernah mengunjungi psikolog atau psikiater. Angka ini lebih tinggi daripada generasi milenial dan generasi X. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z lebih terbuka dan sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak ragu untuk meminta bantuan profesional jika mengalami masalah kesehatan mental. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab Gen Z lebih peduli dengan kesehatan mental, seperti halnya Gen Z tumbuh di era yang lebih terbuka tentang kesehatan mental. Mereka lebih sering mendengar tentang masalah kesehatan mental dan pentingnya mencari bantuan profesional. Selain itu, media sosial juga dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental. Karena Gen Z sering melihat konten tentang kesehatan mental di media sosial, yang dapat membuat mereka lebih memahami masalah kesehatan mental. Untuk mengatasi tekanan hidup Gen Z, diperlukan perhatian pada kesehatan mental, dukungan sosial, dan pendekatan holistik. Dengan pemahaman dan dukungan yang tepat, mereka dapat mengelola stres dan membangun dasar yang kuat untuk masa depan! Untuk info-info menarik lain seputar kesehatan, ikuti media sosial periksa.id yuk! Instagram: periksa.id Facebook: periksa.id LinkedIn: periksa.id Youtube: Cerita Periksa

Katanya Gen Z jadi Generasi Paling Stres? Benarkah? Read More »

Kamu Takut Gemuk? Awas Obesophobia!

Ketakutan terhadap kegemukan atau obesophobia adalah fenomena yang mungkin tidak banyak disadari oleh banyak orang. Meskipun kekhawatiran terhadap kesehatan adalah hal yang wajar, namun obsesi berlebihan terhadap berat badan bisa menjadi masalah serius yang memengaruhi kesejahteraan mental dan fisik seseorang. Apa itu Obesophobia? Obesophobia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan yang berlebihan terhadap kegemukan atau berat badan yang berlebihan. Orang dengan obesophobia seringkali memiliki pemikiran dan perasaan negatif tentang berat badan mereka, dan mereka mungkin menghindari situasi atau aktivitas yang membuat mereka merasa tidak nyaman dengan berat badan mereka. Kondisi ini dapat memicu perilaku yang tidak sehat, seperti diet yang ekstrem, olahraga berlebihan, atau bahkan isolasi sosial karena kekhawatiran tentang penilaian orang lain. Munculnya Obesophobia Obesophobia seringkali muncul karena tekanan sosial dan norma kecantikan yang diterima di masyarakat. Media, iklan, dan pandangan masyarakat yang idealis terhadap tubuh seringkali menciptakan standar yang tidak realistis. Kondisi ini dapat menciptakan rasa tidak aman dan kecemasan terhadap berat badan. Gejala Obesophobia Gejala obesophobia dapat bervariasi dari orang ke orang. Mengutip dari laman IDN Times, ini dia gejala umum dari obesophobia yang biasanya terjadi: Bagaimana Mengatasi Obesophobia? Obesophobia adalah gangguan yang nyata dan dapat berdampak signifikan pada kehidupan seseorang. Jika Kamu takut gemuk, cobalah untuk mengubah pola hidupmu, seperti makan makanan sehat dan bergizi, serta olahraga secara rutin. Selain itu, bersikaplah positif terhadap diri sendiri dan tubuhmu, fokus pada kesehatan bukan pada berat badanmu, cari dukungan dari teman dan keluarga.  Yang terpenting jangan membandingkan diri dengan orang lain.  Maka, penting untuk mencintai diri Kamu sendiri apa adanya dan fokus pada kesehatan. Dengan begitu, Kamu dapat mengurangi ketakutan dan kecemasan tentang kegemukan. Kamu juga akan lebih mungkin untuk menjalani hidup yang bahagia dan sehat! Untuk info-info menarik lain seputar kesehatan, ikuti media sosial periksa.id yuk! Instagram: periksa.id Facebook: periksa.id LinkedIn: periksa.id Youtube: Cerita Periksa

Kamu Takut Gemuk? Awas Obesophobia! Read More »

Awas Kena Sanksi, Faskes Harus Pakai Rekam Medis Elektronik!

Saat ini, penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME) menjadi suatu keharusan, terutama bagi Fasilitas Kesehatan (Faskes). Penerapan RME di Faskes memiliki dampak besar tidak hanya terhadap efisiensi pelayanan kesehatan, tetapi juga untuk mematuhi regulasi yang berlaku. Hati-hati, karena ketidakpatuhan dapat berujung pada sanksi yang merugikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 24 Tahun 2022, seluruh fasilitas kesehatan (faskes) di Indonesia wajib menggunakan Rekam Medis Elektronik (RME) paling lama hingga 31 Desember 2023. Jika tidak, faskes tersebut dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis bahkan pencabutan akreditasi. Pastinya, sanksi tersebut tentu tidak diinginkan oleh faskes. Oleh karena itu, faskes perlu segera mempersiapkan diri untuk menerapkan RME. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan RME dari periksa.id. RME memiliki banyak manfaat bagi faskes, antara lain: RME dari periksa.id sudah sesuai dengan standar PMK No. 24 Tahun 2022. RME ini juga sudah terdaftar di Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kominfo.  RME dari periksa.id juga terintegrasi dengan BPJS, Mobile JKN, SATUSEHAT, dan lainnya. Hal ini memudahkan faskes untuk melakukan klaim BPJS Kesehatan dan berbagi data pasien antar-faskes. Selain itu, RME dari periksa.id juga praktis digunakan sehingga dapat meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan. Faskes dapat langsung menggunakan RME tanpa perlu melakukan instalasi atau konfigurasi yang rumit. Terakhir, RME dari periksa.id juga memiliki fitur lengkap dengan harga terjangkau. Faskes dapat memilih paket RME sesuai kebutuhannya. Jika faskes Anda yang belum menerapkan RME, segera beralih ke RME dari periksa.id. Dengan RME dari periksa.id, Anda dapat terhindar dari sanksi dan mendapatkan berbagai manfaat yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Yuk, segera bergabung ke ekosistem periksa.id sekarang juga!

Awas Kena Sanksi, Faskes Harus Pakai Rekam Medis Elektronik! Read More »

Obat Tradisional Pegal Linu dan Asam Urat Mengandung BKO

Pada 26 September 2023, Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menginformasikan bahwa obat tradisional yang mengklaim mampu mengatasi pegal linu dan asam urat dapat mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Pemberitahuan ini disampaikan melalui akun resmi Instagram BPOM, yaitu @bpom_ri. Obat tradisional seringkali menjadi pilihan masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, termasuk pegal linu dan asam urat. Namun, dalam upaya untuk meredakan gejala, beberapa obat tradisional mungkin mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat membawa risiko bagi kesehatan kita.  Merujuk kepada informasi yang disampaikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) adalah produk obat yang saat pembuatannya ditambahkan zat kimia obat dan pemberian Bahan Kimia Obat (BKO) dalam obat tradisional dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja atau efektivitas obat tersebut. Terkadang, penambahan Bahan Kimia Obat (BKO) ini dilakukan tanpa mempertimbangkan dosis atau pedoman penggunaannya. Untuk obat tradisional pegal linu dan asam urat yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), ada empat jenis zat kimia yang ditambahkan, yaitu: Obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) tersebut seringkali mampu memberikan pengurangan nyeri dan peradangan akibat pegal linu atau asam urat dengan cepat. Berikut adalah beberapa obat tradisional yang perlu diwaspadai karena mengandung Bahan Kimia Obat (BKO): Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan peringatan keras kepada produsen dan sarana distribusi serta menarik dan memusnahkan obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat. Bahan Kimia Obat (BKO) yang terdapat dalam obat tradisional dapat membahayakan kesehatan, seperti meningkatkan risiko kerusakan hati dan gagal ginjal.  Oleh karena itu, perlu diwaspadai dan pemakaian obat keras harus sesuai dengan anjuran dokter. Masyarakat perlu memilih obat tradisional yang aman dan tidak mudah percaya dengan iklan-iklan yang beredar sehingga dapat terhindar dari bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) yang sering dicampurkan dalam obat tradisional untuk memperoleh efek yang singkat. Jangan lupa untuk konsultasikan dengan profesional kesehatan sebelum mengambil keputusan dan selalu periksa label produk dengan teliti.  Ingat, kesehatan Anda adalah hal yang paling penting. Jadi selalu berhati-hati dalam memilih metode pengobatan yang tepat untuk Anda! Untuk info-info menarik lain seputar kesehatan, ikuti media sosial periksa.id yuk!

Obat Tradisional Pegal Linu dan Asam Urat Mengandung BKO Read More »

Scroll to Top